Home Artikel / Laporan

Pemanfaatan Energi Gelombang Laut sebagai Energi Alternatif di Indonesia

Kondisi Rasio Elektrifikasi

Berdasarkan rasio kelistrikan nasional, kondisi kelistrikan di Indonesia saat ini masih dirasakan belum memenuhi azas keadilan dan pemerataan. Hal ini dapat dipahami karena ketersediaan listrik dari waktu ke waktu selalu lebih kecil dari kebutuhan yang terus meningkat. Selain itu, kendala lain yang nampaknya masih belum ditetapkan adalah tentang status pengelolaan listrik sebagai infrastruktur dasar (sebagaimana infrastruktur publik seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dsb.) atau status listrik sebagai sebuah komoditas.

Beberapa prakarsa telah diajukan, salah satu pilihan adalah menetapkan bahwa pembangkit listrik yang menggunakan sumber daya alam pulih atau terbarukan (tanpa bahan bakar tertentu), seyogianya diperlakukan sebagai infrastruktur dasar bagi masyarakat, sedangkan pembangkit listrik yang dibangun di pulau-pulau dan kota-kota besar yang telah mapan dan berkualitas sebaiknya ditetapkan sebagai komoditas.
Infrastruktur Listrik
Rasio elektrifikasi di Indonesia berdasarkan data  badan ESDM sampai tahun 2009 dilaporkan baru mencapai rata-rata 66%, namun di kawasan Indonesia Bagian Timur belum mencapai 45%. Tingkat penggunaan listrik bagi masyarakat yang lazim dinyatakan dalam konsumsi listrik per kapita, juga tercatat masih jauh dari memadai. Sebagai pembanding, data tahun 2005-an di Amerika Serikat dengan Gross Domestic Product (GDP) masyarakat rata-rata sekitar US$ 35.000,- per tahun maka konsumsi listriknya mencapai 10.000 kWh; Masyarakat Uni Eropa dengan GDP rata-rata masyarakat US$ 18.800,-  konsumsi listriknya sekitar 5.700 kWh; Singapura dan Malaysia  dengan GDP masyarakat rata-rata diatas US$ 6.000,- konsumsi listriknya sekitar 3.000 kWh; sedangkan di Indonesia jika dibagi rata-rata jumlah penduduk hanya mencapai 500 kWh, inipun dengan catatan bahwa pada kenyataannya masyarakat yang sudah menikmati listrik yang berkualitas ini baru mencapai sekitar 65% dari jumlah penduduk Indonesia.

Perkembangan teknologi pemanfaatan energi baru terbarukan, khususnya pemanfaatan radiasi sinar matahari, angin, arus laut, gelombang, dan ocean thermal energy conversion (OTEC) sebagai energi baru terbarukan di dunia saat ini mulai berkembang dengan pesat, seiring dengan meningkatnya tuntutan akan kebutuhan energi listrik terutama bagi masyarakat kawasan terpencil. Selain itu, semakin maraknya issu pemanasan global yang mendorong untuk membatasi penggunaan bahan bakar hidrokarbon telah memicu pemanfaatan energi non-fosil walaupun masih dalam kualitas yang tidak sebaik energi fosil.  Namun demikian, upaya untuk penyediaan listrik bagi masyarakat pulau-pulau kecil terpencil ini telah mulai digulirkan yaitu dengan target 100 pulau pada tahun 2010, dan selanjutnya secara bertahap melistriki sekitar 1.000 pulau di Indonesia Bagian Timur terutama melalui pengadaan pembangkit energi baru terbarukan (PLN, 2009).

Desa-Desa Tertinggal di Pulau-Pulau Kecil

Secara statistik keberadaan desa-desa tertinggal yang belum berkembang di pulau-pulau kecil (small islands) mencapai hampir 7% dari wilayah dunia dan merupakan entitas daratan tersendiri yang umumnya sama sekali belum menikmati infrastruktur listrik, dicirikan oleh kerentanan ekonomi dan keterbelakangan pembangunan. Menurut definisi Kementerian Kelautan dan Perikanan, pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 2.000 km2, dengan jumlah penduduk < 20.000 orang. Lebih dari 7.000 pulau kecil telah berpenghuni dan memiliki hubungan administratif dengan desa terdekat. Dari segi fisik, desa di pulau-pulau kecil memiliki sumber daya alam daratan yang sangat terbatas sehingga tidak mampu untuk membangkitkan listrik sendiri, sedangkan sumberdaya alam laut yang tersedia juga hanya cukup untuk menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari.

Oleh sebab itulah, pengelolaan sumber daya alam khususnya energi di pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terencana, sistematis, dan terpadu, agar perekonomian masyarakatnya dapat semakin ditingkatkan terutama penyediaan akan listrik yang nampaknya mulai menjadi kebutuhan primer saat ini. Berdasarkan tinjauan karakteristik di lapangan, ciri-ciri umum yang ditemukan pada masyarakat desa pulau-pulau terdepan adalah keterbelakangan teknologi dan informasi yang berujung pada rendahnya tingkat ekonomi. Oleh sebab itu, penyediaan listrik yang efisien bagi masyarakat di pulau-pulau terpencil ini adalah pemanfaatan energi dari laut setempat ketimbang membangun kabel transmisi bawah laut.

Agenda  Dan Kendala Kelistrikan Nasional

Agenda kelistrikan nasional telah mencanangkan lompatan besar dalam upaya pelayanan energi listrik bagi masyarakat yaitu yang dikenal dengan Visi 75-100.  Badan Usaha Milik Negara yaitu PT PLN bertekad memberi layanan listrik bagi semua warga negara (terlistriki 100%) pada saat bangsa Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaan yang ke-75 yaitu tahun 2020. Ditinjau dari pola perkembangan dan pertumbuhan kelistrikan, agenda ini merupakan suatu program yang tidak mudah karena berbagai kendalan geografis dan keterbatasan sumber daya energi di daerah.

Di beberapa negara maju, listrik yang dibangkitkan dari sumber daya alam terpulihkan itu telah ditetapkan menjadi dua status yaitu pertama, listrik sebagai infrastruktur dasar dan kedua, listrik sebagai komoditi. Di Indonesia, nampaknya penyediaan tenaga listrik baru sebatas listrik sebagai infrastruktur milik pemerintah sedangkan listrik sebagai komoditi belum terlaksana, mengingat sektor swasta masih belum diberikan kesempatan yang leluasa dalam kompetisi penyediaan listrik. Oleh sebab itulah terkesan, bahwa listrik sebagai infrastruktur masih  sepenuhnya ditanggung dan disubsidi oleh pemerintah dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat.

Walaupun dalam undang-undang kelistrikan disebutkan bahwa pemerintah memang wajib menyediakan listrik dengan harga yang terjangkau masyarakat, namun telah membawa konsekuensi lain yaitu bahwa penyediaan listri ini akan selalu tergantung pada kemampuan keuangan pemerintah. Dengan demikian, jangkauan pasokannya masih terbatas dan terkonsentrasi pada daerah-daerah yang sudah cukup berkembang dan berkemampuan membayar listrik, sedangkan masyarakat di daerah terpencil yang kurang mampu dan belum berkembang masih belum mendapat proioritas. Sebagai akibatnya, maka masyarakat daerah-daerah terpencil ini akan semakin tertinggal dan termarginalkan dalam pembangunan.

Mengingat bahwa ketersediaan listrik ini merupakan infrastruktur dasar bagi masyarakat dan sebagai pengungkit peningkatan perekonomian, maka rasio elektrifikasi di daerah terpencil perlu mendapat priorotas khusus agar tidak semakin tertinggal dibandingkan daerah lainnya. Dalam pasal 4 ayat 3 UU No. 30/2009 tentang kelistrikan, dinyatakan bahwa pemerintah menyediakan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu dan daerah yang belum berkembang, namun ironisnya pasal lainnya juga menyebutkan bahwa pemerintah juga menetapkan harga jual (tarif) yang mencirikan bahwa bahwa listrik bukan hanya sebagai infrastruktur dasar tetapi sekaligus juga merupakan komoditas yang lebih berorientasi profit ketimbang keberpihakan pada kesejahteraan masyarakat miskin.

Listrik Sebagai Infrastruktur Dasar

Sebagai negara berkembang, Indonesia sebaiknya mempertimbangkan listrik sebagai infrastruktur dasar. Dengan demikian, pengembangan kelistrikan dapat diperhitungkan sebagai investasi yang dapat mendorong, memicu dan menstimulasi berbagai kegiatan ekonomi dan industri lainnya. Salah satu contoh success story pengembangan kelistrikan adalah negara China, yang mulai membangun infrastruktur listrik yang cukup, distribusi yang hampir merata dan berkualitas sebagai awal stimulan pengembangan perekonomiannya.

Penerapan subsidi pemerintah untuk listrik pada awalnya ditujukan untuk menstimulasikan kemampuan masyarakat agar dapat memanfaatkan kesempatan ini, namun pada kenyataannya justru masyarakat semakin terlena dan terkesan menjadi sangat tergantung terhadap subsidi listrik. Hal inilah yang selanjutnya menjadi ironis, bahwa subsidi listrik ternyata lebih banyak dinikmati oleh kalangan masyarakat mampu dengan jumlah subsidi yang jauh lebih besar daripada subsidi bagi masyarakat tidak mampu yang sebetulnya lebih berhak. Oleh sebab itulah, agar kesenjangan ini tidak terus berlanjut, maka pemerintah melalui BUMN terkait pernah menggulirkan wacana listrik gratis bagi masyarakat pelanggan yang tidak mampu. Walaupun gagasan ini masih sebatas wacana, namun telah memberikan nuansa mulai dipertimbangkannya azas keadilan dan pemerataan.

Salah satu langkah teknis penyediaan listrik bagi masyarakat desa tertinggal adalah pemanfaatan pembangkit energi baru terbarukan sebagai sumber energi alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan (green energy) melalui program percepatan pembangunan infrastruktur perdesaan daerah tertinggal yang dikenal dengan program P2IPDT. Karena kendala letak geografis, desa-desa tertinggal dan terpencil ini umumnya berada di pulau-pulau kecil, sehingga akan sulit dijangkau oleh sistem jaringan transmisi. Untuk mengatasi kendala ini maka perlu diprakarsai pemanfaatan sumber energi yang terpulihkan, seperti energi samudera, energi angin, dan energi sinar matahari sebagai sumber energi unggulan. Jenis energi yang bersumber dari fenomena alam ini diklasifikasikan pada energi baru terbarukan.

Prinsip umum Energi Gelombang

Laut yang biasanya terdapat gelombang dan energi panas bisa dimanfaatkan sebagai energi alternatif. Gelombang laut beserta ombak bisa digunakan untuk menggerakkan turbin mesin pembangkit listrik. Dengan melihat kondisi fisik wilayah Indonesia yang 2/3 bagian wilayahnya di kelilingi oleh lautan, maka teknologi ini dapat dikatakan sangat menjanjikan. Energi gelombang laut adalah satu potensi laut dan samudra yang belum banyak diketahui masyarakat umum adalah potensi energi laut dan samudra untuk menghasilkan listrik. Negara yang melakukan penelitian dan pengembangan potensi energi samudra untuk menghasilkan listrik adalah Inggris, Prancis dan Jepang.

Secara umum, potensi energi samudra yang dapat menghasilkan listrik dapat dibagi kedalam 3 jenis potensi energi yaitu energi pasang surut (tidal power), energi gelombang laut (wave energy) dan energi panas laut (ocean thermal energy). Energi pasang surut adalah energi yang dihasilkan dari pergerakan air laut akibat perbedaan pasang surut. Energi gelombang laut adalah energi yang dihasilkan dari pergerakan gelombang laut menuju daratan dan sebaliknya. Sedangkan energi panas laut memanfaatkan perbedaan temperatur air laut di permukaan dan di kedalaman. Meskipun pemanfaatan energi jenis ini di Indonesia masih memerlukan berbagai penelitian mendalam, tetapi secara sederhana dapat dilihat bahwa probabilitas menemukan dan memanfaatkan potensi energi gelombang laut dan energi panas laut lebih besar dari energi pasang surut.

Pada dasarnya pergerakan laut yang menghasilkan gelombang laut terjadi akibat dorongan pergerakan angin. Angin timbul akibat perbedaan tekanan pada 2 titik yang diakibatkan oleh respons pemanasan udara oleh matahari yang berbeda di kedua titik tersebut. Mengingat sifat tersebut maka energi gelombang laut dapat dikategorikan sebagai energi terbarukan. Gelombang laut secara ideal dapat dipandang berbentuk gelombang yang memiliki ketinggian puncak maksimum dan lembah minimum. Pada selang waktu tertentu, ketinggian puncak yang dicapai serangkaian gelombang laut berbeda-beda, bahkan ketinggian puncak ini berbeda-beda untuk lokasi yang sama jika diukur pada hari yang berbeda. Meskipun demikian secara statistik dapat ditentukan ketinggian signifikan gelombang laut pada satu titik lokasi tertentu.

Ketinggian dan periode gelombang tergantung kepada panjang fetch pembangkitannya. Fetch adalah jarak perjalanan tempuh gelombang dari awal pembangkitannya. Fetch ini dibatasi oleh bentuk daratan yang mengelilingi laut. Semakin panjang jarak fetchnya, ketinggian gelombangnya akan semakin besar. Angin juga mempunyai pengaruh yang penting pada ketinggian gelombang. Angin yang lebih kuat akan menghasilkan gelombang yang lebih besar.

Gelombang yang menjalar dari laut dalam (deep water) menuju ke pantai akan mengalami perubahan bentuk karena adanya perubahan kedalaman laut. Apabila gelombang bergerak mendekati pantai, pergerakan gelombang di bagian bawah yang berbatasan dengan dasar laut akan melambat. Ini adalah akibat dari friksi/gesekan antara air dan dasar pantai. Sementara itu, bagian atas gelombang di permukaan air akan terus melaju. Semakin menuju ke pantai, puncak gelombang akan semakin tajam dan lembahnya akan semakin datar. Fenomena ini yang menyebabkan gelombang tersebut kemudian pecah.

Potensi Energi Arus Laut Bagi Pulau-Pulau Kecil

Prinsip yang dikembangkan pada aplikasi teknologi pemanfaatan energi arus laut adalah melalui konversi tenaga kinetik masa air laut menjadi tenaga listrik. Tercatat beberapa negara telah berhasil melakukan instalasi pembangkit energi listrik dengan memanfaatkan energi arus dan pasang surut, mulai dari prototype turbin pembangkit hingga mencapai turbin skala komersial dengan kapasitas 1,2 MW/turbin, seperti yang telah dibangun di Skotlandia, Swedia,  Perancis, Norwegia, Inggris, Irlandia Utara, Australia, Italia, Korea Selatan dan Amerika Serikat.

Penelitian karakteristik energi arus laut di Indonesia telah dilakukan oleh Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL), Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2005 berkolaborasi dengan Program Studi Oceanografi ITB. Pengukuran arus laut dilakukan menggunakan ADCP (Accoustic Doppler Current Profiler) di Selat Lombok dan Selat Alas dalam kaitan dengan rencana penyiapan lokasi dan instalasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut (PLTAL) model Turbin Kobold buatan Italia yang berkapasitas 75-300 kW di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi.

Tahun  2006 - 2010 telah dilaksanakan penelitian karakteristik arus laut di berbagai selat di Nusa Tenggara Timur, yaitu di Selat Lombok , Selat Alas, Selat Nusa Penida, Selat Flores, dan Selat Pantar.  Selain itu, Prototipe turbin pertama telah dibangun secara kemitraan bersama Kelompok Teknik T-Files ITB dan PT Dirgantara Indonesia, dengan mengadopsi dan memodifikasi model turbin Gorlov skala kecil (kapasitas teoritis 0,8 kW/cel).

Kelompok T-Files ITB adalah kelompok mahasiswa teknik yang terdiri dari berbagai latar belakang keilmuan yang secara langsung dibimbing oleh  Prof. Iskandar Alisyahbana (Alm), mengembangkan berbagai jenis pembangkit listrik tenaga arus laut skala kecil. Salah satu prototipe perangkat pembangkit listrik hasil rakitan perdana telah diuji-coba di kolam uji PPPGL Cirebon dan tahun 2008, dilanjutkan dengan uji lapangan tahun 2009 di Selat Nusa Penida sehingga telah berhasil memperoleh "proven design" yang cocok untuk diterapkan pada perairan yang berkarakteristik selat (arus pasang surut).

Diharapkan pada tahun 2025 energi listrik dari laut yang dihasilkan dari berbagai pembangkit energi yang bersumber dari laut ini akan mencapai target yang proporsional yaitu mencapai 5% dari seluruh sumber energi terbarukan. Dengan demikian, maka sasaran kebijakan bauran energi yaitu 25%  atau yang dikenal dengan Visi bauran energi 25-25 akan dapat dicapai.

Salah satu upaya realisasi penyediaan listrik bagi desa di pulau-pulau kecil adalah program pengembangan kelistrikan melalui pemasangan kabel laut di Kepulauan Seribu, Laut Jawa. Gugusan pulau-pulau ini memiliki 105 pulau tersebar di empat kelurahan dan berpenduduk sekitar 20.000 orang, dengan anggaran sekitar Rp 275 Milyar. Pemasangan jaringan kabel listrik bawah laut sepanjang 41,8 km dengan daya 450-1.300  kWh itu direncanakan membentang dari daratan Teluk Naga, Tangerang hingga gardu induknya di Pulau Untung Jawa, kemudian disambung ke Pulau Pari dan Pulau Tidung.

Seandainya peraturan mengenai status listrik sebagai infrastruktur dasar telah ditetapkan, maka biaya sebesar ini sebenarnya dapat digunakan untuk membangun beberapa pembangkit listrik tenaga arus listrik jenis Marine Curent Energy for Electricity (MARCEE) buatan Italia. Satu unit sistem MARCEE ini mirip dengan model Kobold, secara teoritis dapat menghasilkan 1,0-1,2 MW perturbin dan dapat dikembangkan menjadi turbin 8 turbin terintegrasi.  Pada prinsipnya teknologi MARCEE ini adalah mengembangkan pembangkit listrik tenaga arus menggunakan model turbin tunggal dan turbin multiganda (turbine farm)  terutama untuk kawasan yang lebih luas.


Sumber :
Alpen S.______. Gelombang Laut sebagai Energi Altenatif. Dalam www.alpensteel.com. Diakses pada Minggu, 22 Mei 2016.
Lubis. 2008. Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut untuk Desa PesisirTertinggal. Dalam www.esdm.go.id. Diakses pada Minggu, 22 Mei 2016.

Baca juga :

to Top